Surakarta (Humas) – Salma Qais Mu’afa, siswi kelas 12 F.3 MAN 1 Surakarta, ciptakan permainan ular tangga modern inklusif bernama Traftech (traffic technology). Permainan ini gabungkan edukasi lalu lintas dengan teknologi suara dan huruf braille. Ia berkesempatan menyaksikan secara langsung hasil karya inovatifnya, Traftech, dimainkan dengan penuh antusias oleh siswa-siswi tunanetra di SLB A Yayasan Kesejahteraan Anak-anak Buta (YKAB) Solo, Rabu (30/7/2025).
Permainan edukatif berbasis ular tangga ini bukan sekadar hiburan. Traftech menggabungkan unsur edukasi lalu lintas, teknologi suara, huruf braille, dan desain aksesibel untuk disabilitas netra. Meski sempat diliputi rasa khawatir, Salma merasa haru dan bangga ketika karyanya disambut hangat oleh para penyandang tunanetra.
“Respons dari teman-teman tuna netra sangat positif, bahkan ada yang minta main lagi. Saya sangat terharu, ternyata kerja keras saya bisa diterima dan bermanfaat,” ujar Salma.
Salma menciptakan Traftech sebagai bagian dari seleksi Pelajar Pelopor Lalu Lintas yang diadakan Dinas Perhubungan Kota Solo. Meski tak masuk nominasi terbaik tingkat kota, karyanya justru mendapat perhatian lebih dari dinas terkait dan telah diperkenalkan di berbagai kesempatan.

Traftech dirancang sebagai media belajar sekaligus bermain. Selain berisi informasi seputar lalu lintas, papan permainan ini dilengkapi huruf braille dan teknologi suara. Pemain cukup menekan tombol untuk memunculkan dadu digital yang menampilkan angka melalui gambar dan suara. Pion kemudian digerakkan di atas papan timbul yang dirancang untuk mudah dikenali oleh tunanetra.
“Yang membedakan Traftech adalah kemampuannya menjangkau teman-teman tuna netra, dengan huruf braille dan teknologi suara. Ini yang mungkin menarik perhatian Dinas Perhubungan,” ungkapnya.
Ide awal Traftech sebenarnya tidak dirancang sejak awal mengikuti kompetisi. Namun, setelah membaca berbagai referensi dan jurnal, Salma tergerak untuk membuat permainan yang inklusif. Ia bahkan harus bekerja lembur lima hari berturut-turut di sela aktivitas sekolah asrama demi menyelesaikan produk fisik permainan tersebut.
Kendala teknis seperti pembuatan huruf braille hingga penanaman perangkat elektronik berhasil ia atasi berkat dukungan dari guru dan sekolah. “Yang paling menantang itu diberi waktu lima hari untuk menyelesaikan semuanya. Tapi semua terbayar setelah melihat permainan ini bisa dimanfaatkan dengan baik,” ujar Salma sambil tersenyum.