Kepala Kemenag Kota Surakarta, Hidayat Maskur, mengaku prihatin, karena hingga saat ini banyak menerima pengaduan tentang berita hoaks yang bersumber dari al Qur’an.
“Ada yang membuat dalam bentuk video, seolah-olah disitu ada al Qur’an versi baru. Ada yang berbentuk teks dan terjemah, seolah-olah al-Qur’an sudah dirubah,” terangnya dalam acara Safari Sholat Jum’at bersama Forkompinda Kota Surakarta, di Masjid Istiqomah, Penumping, Serengan, Surakarta pada Jum’at (23/09).
Dalam kesempatan itu, Hidayat menegaskan bahwa alquran yang beredar di Indonesia semuanya harus melalui Lajnah Pentashih al Qura’n dan sudah lulus sensor.
“Disitu ada 44 (pentashih) yang setiap hari menyimak, membaca dan meneliti. Baru setelah lolos diedarkan kepada masyarakat. Kalau ada hal-hal yang demikian itu adalah berita yang tidak benar,” imbuhnya.
Hidayat menjelaskan terkait dengan pemahamam al Qur’an ada empat. Pertama, adakalanya al qur’an itu bisa dibaca, bisa diterjemah. Tapi, tidak bisa dipahami.
Ia mencontohkan kalimat, “..sab’a samawat..”. Bisa dibaca dan diterjemah, bahwa langit itu ada tujuh. Gampang. Tapi untuk memahami, hingga saat ini semua mufasir, para tokoh, ahli cendikia, belum bisa memahami langit yang tujuh itu seperti apa. Akal kita tidak sampai. Karena teks al-Qur’an datangnya dari Alloh, sebagai umat muslim harus meyakini sepenuhnya bahwa langit itu ada tujuh,’ bebernya.
Kedua, adakalanya alqur’an itu bisa dibaca, tidak bisa diterjemah dan tidak bisa dipahami. Terutama kalimat di awal surat, seperti ; Alif lam mim, kaf ha ya ain shood dan sebagainya.
Kalimat ini bisa dibaca, tapi tidak bisa diterjemah. Dan seluruh mufasir tidak ada yang bisa menterjemahkan kalimat-kalimat tersebut.
Pada zaman nabipun, juga tidak ada sahabat yang menanyakan makna kalimat itu apa ?. Waktu itu, sikap para sahabat hanya samikna wa-athoknaa.
Ketiga, adakalanya ayat alqur’an bisa dibaca, diterjemah dan dipahami.
”Sebagaimana khutbah (jum’at) yang baru saja kita dengarkan. Semuanya bisa dibaca, diterjemah dan dipahami. Kecuali yang tidur,” katanya.
Keempat, bahwa alquran itu Bisa dibaca, bisa diterjemahkan. Tapi, maknanya banyak dan beragam. Hidayat mencontohkan kata ; Au-lamastumun nisa’.
“Lamastum itu senggolan biasa, atau senggolan dengan syahwat ?. Ini kalau kita bicarakan, sampai kiamat tidak ketemu-ketemu. Karena memang bisa memberikan makna yang lebih dari satu makna”, ungkapnya.
Oleh karena, Hidayat berpesan agar kita jangan memberikan sebuah kesimpulan sebelum paham terkait dengan pemahaman yang sesungguhnya.
Dia mencontohkan terjemahan dari surat al Kafirun. Kata kafir disitu diterjemah dengan non muslim. Umat islam banyak yang berdemo.
Padahal, kita yang hidup di Indonesia itu merupakan hal yang biasa. Kita sering memberikan makna atau pengertian terhadap sesuatu yang memang memang tidak semestinya.
“Badhe tindak pundi Pak Dhe ?. Itu juga bukan mas-nya bapak kita. Budhe, itu juga bukan saudara ibu kita . Tapi, kita di Indonesia, apalagi di Solo, seringkali memanggil tetangga-tetangga atau bahkan seluruh warga ini menjadi saudara dengan panggilan-panggilan yang indah dan luar biasa. Ada Pak Dhe, Budhe, Bulik, tante, kakek, semuanya itu dilakukan dalam rangka menjaga persatuan dan isi hati kita. Dan itu hanya ada di Indonesia,” pungkasnya. (Sol/May)