Kota Surakarta (Humas) – Kesiapan Jamaah Haji Indonesia dalam mendukung Istithaah Kesehatan diakui cukup menjadi sorotan semenjak ditetapkan sebagai kebijakan baru dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 1445 H/ 2024 M. Rupanya, strategi penelitian yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serius untuk perbanyak kolaborator riset bidang Kesehatan.
Berkenaan dengan topik tersebut, Selasa (28/05/2024), lima orang Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Kantor Kementerian Agama Kota Surakarta menghadiri Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Penelitian Studi Kematian Jamaah Haji Berbasis Analisis Teori BLUM: Penguatan Layanan Kesehatan Jamaah Haji Indonesia.” Forum ini terselenggara atas kolaborasi dari Dinas Kesehatan Kota (DKK) Surakarta dan BRIN yang bertempat di Hotel Dana Solo.
Menghadirkan peserta sekitar 20 orang berasal dari lintas sektoral, diharapkan forum ini mampu memberikan gambaran atau data primer seperti yang diharapkan oleh Ketua Tim Penelitian. Beberapa instansi yang hadir antara lain DKK, Kemenag, Puskesmas Pajang, Puskesmas Gambirsari, KBIHU Mandiri, KBIHU Aisyiyah, RSUD Bung Karno, dan RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Tentunya, kehadiran para peserta tersebut dilatarbelakangi oleh paling banyaknya jumlah layanan jamaah haji dan keunggulan fasilitas yang dimiliki.
‘Dua RS tersebut merupakan faskes rujukan tingkat lanjut yang bertugas melayani jamaah haji jika ada rujukan dari Puskesmas. Pajang dan Gambirsari tahun 2024 ini memiliki CJH terbanyak, sehingga diskusinya nanti bisa lebih berkembang dan lebih luas lagi,’ papar Tenny.
Tenny juga berharap agar hasil penelitian nanti bermanfaat sebagai bahan pertimbangan untuk Pemerintah merumuskan kebijakan untuk bidang kesehatan dan pelayanan haji secara umum.
Joko Irianto (Penanggung Jawab Penelitian) yang menyampaikan sambutan kedua, membahas singkat paparan penelitian ini yang telah didesain sejak tahun 2023. Menurutnya, konsep penelitian ini muncul karena dominasi kaum lansia yang menjadi jamaah haji di Indonesia.
Bukan penelitian tentunya jika tidak memunculkan hipotesis. Menurut Joko, karena dominasi kaum lansia tersebut, diduga akan memunculkan adanya masalah kesehatan saat jamaah menjalankan ibadah haji saat berada di Arab Saudi.
Untuk itu, setelah melalui proses adminstrasi dan birokrasi yang tidak sederhana, penelitian ini akhirnya disetujui untuk dilaksanakan di bulan November 2023.
‘Nah, tahun ini kami bisa melaksanakan penelitian di empat embarkasi yakni, Solo, Majalengka, Pondok Gede dan Bekasi,’ tutur Joko.
Disampaikannya pula bahwa concern penelitian ini mengininginkan kondisi calon jamaah haji (CJH) yang sehat (baik ketika berangka, maupun pulang).
BRIN memiliki tugas dalam rangka membantu mewujudkan pemikiran tersebut. Untuk itu, sangat diperlukan adanya usulan baik dari Kemenag dan Kemenkes, yang kemudian dihimpun, disatukan, dan diformulasikan menjadi sebuah usulan kebijakan.
‘Kami sangat berharap bahwa pertemuan ini bisa memberikan output yang besar untuk perbaikan pelayanan kesehatan jamaah haji Indonesia, yang bisa menekan pada wujudnya nanti adalah turunnya atau bisa diminimalisasi tingkat kesakitan dan kematian. Itu wujud dari kebijakan yang kita harapkan bersama!,’ pungkas Joko.
Masuk pada sesi diskusi yang dipandu oleh Dede Anwar Musadad, Peneliti Ahli Utama Balai Karantina Kesehatan, Anwar mengawali dengan pembahasan tiga unsur utama dalam penyelenggaraan ibadah haji adalah layanan, pembinaan calon jamaah haji (CJH) saat berada di tanah air dan Arab Saudi, serta perlindungan dari sisi pembiayaan, kesehatan, dan pembekalan agama. Anwar menjelaskan bahwa kesehatan, khususnya istithaah, sangat penting dan telah diatur dalam petunjuk teknis dari Kementerian Kesehatan. Pemeriksaan kesehatan dibagi dalam tahap pertama dan tahap kedua.
“Bahkan menurut analisis saya, lansia memiliki rasio tujuh kali lebih tinggi potensi meninggal dibandingkan yang bukan lansia,” ungkap Anwar.
Menurutnya, pembinaan masa tunggu dilakukan sekitar dua tahun sebelum keberangkatan. Sedangkan, pemeriksaan kesehatan tahap kedua, dilakukan untuk memastikan kondisi kesehatan CJH istithaah.
Pembinaan ketika masa keberangkatan, dari sisi agama dan Kesehatan, diharapkan pula oleh Anwar agar keduanya berjalan dan dilaksanakan secara terpadu, dalam hal ini membutuhkan peranan dari Kemenag, KUA, Puskesmas, serta tidak menutup kemungkinan juga dari KBIHU, LSM dan Asosiasi Kesehatan lokal yang ada.
Arif Nurul Huda dari Kemenag Kota Surakarta dalam sesi diskusi memberikan konfirmasi bahwa jadwal keberangkatan jamaah haji diinformasikan tiga bulan sebelum keberangkatan kepada CJH (by name), dan CJH wajib konfirmasi ke Kemenag apakah bisa berangkat, menunda, batal, atau melimpahkan keberangkatannya. Penyampaiannya kepada CJH, Kemenag Surakarta menggerakkan Penyuluh Agama Islam dalam menyisir wilayah per kecamatan se-kota Surakarta dan benar-benar dilakukan secara door to door.
Jadwal keberangkatan haji bagi CJH selain bisa didapatkan informasinya dari Kemenag dan KBIH, bisa juga diakses secara mandiri melalui aplikasi ‘Haji Pintar’.
Dalam sesi diskusi, Aji Danarto (Kepala Puskesmas) menegaskan bahwa pemeriksaan kesehatan masing-masing pasien harus diinterpretasi hasil pemeriksaannya case by case secara individual.
Istithaah bukanlah frasa yang sengaja dipilih oleh Kemenag untuk menjadi slogan ataupun tagline. Tetapi, istithaah adalah sebuah konsep yang harus dimaknai dengan seksama dan pemikiran terbuka, karena ibadah haji juga merupakan ibadah fisik, bukan hanya mental.
Menuai pro kontra sudah menjadi hal yang lumrah. Menentukan hasil istithaah juga wajib dilakukan melalui pemeriksaan dengan parameter tes pemeriksaan yang paling akurat. Keluhan sulitnya parameter kesehatan yang menjadi standar kriteria istithaah muncul disampaikan dalam forum. Namun, nyatanya, tidak sedikit pula yang bersuara setuju, sepakat dan sepaham untuk ‘wajib istithaah untuk bisa kemudian pelunasan.’
Pada sesi penutup, Arif berpesan agar CJH selalu melakukan update data secara berkala pada aplikasi Haji Pintar yang dapat diunduh melalui Playstore dan Appstore, untuk memastikan data yang akurat, agar membantu perbaikan penyelenggaraan layanan haji.
Walau sempat kendala terbentur dengan aturan, Tim Penelitian mengungkap rasa syukur karena masih diberi kesempatan melaksanakannya. FGD ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan jamaah haji Indonesia, sehingga dapat mengurangi angka kematian jamaah haji dan memastikan ibadah haji dapat dilaksanakan dengan aman dan nyaman untuk musim haji tahun mendatang dan seterusnya. (rmd)