Kota Surakarta (Humas) – Jumat (15/8/2025) merupakan hari kedua Forum Group Discussion (FGD) bertajuk Ngopi Seni Budaya yang diselenggarakan oleh Direktorat Penerangan Agama Islam Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Subdirektorat Seni Budaya dan Siaran Keagamaan Islam. Masih di lokasi yang sama, yakni Swiss Bell Hotel Solo, FGD hari ini menghadirkan tiga orang narasumber yang relevan dengan tema “Menenun Spirit Islam dari Mataram ke Surakarta: Tafsir Budaya dalam Sejarah Jawa”. Ialah mereka Afthonul Afif, Irfan Afifi dan Yaser Muhamad Arafat.
Narasi Islam dalam Laku dan Lirih: Menemukan Kembali Bahasa Spiritualitas Jawa
Afthonul Afif memiliki latar belakang sebagai psikolog klinis yang juga seorang budayawan, penulis, penggiat tafsir budaya Islam Jawa. Dalam sesi materi, ia menyampaikan bahwa di Tengah perjalanannya menjalani profesi sebagai seorang psikolog klinis, beberapa ketidakselarasan paradigma teoritik barat menilai tentang bagaimana mentalitas manusia indonesia. Hal tersebut mendorongnya mencari teori lokal yang lebih mencerminkan mentalitas Jawa melalui kisah Kyai Ageng Suryomentaram.
Kemudian ia membuat protokol fisioterapi berdasarkan ajaran Kyai Ageng Suryomentaram, dan belakangan ini mulai menunjukkan perkembangan yang lebih baik.
“UGM hari ini memperingati dies natalis Fakultas Filsafat mengangkat filosofi dari Kyai Ageng Suryomentaram tersebut,” tuturnya.
Afthonul Afif menambahkan bahwa manusia hari ini mengalami kerentanan emosional yang tidak dijumpai pada periode sebelumnya. Hari ini banyak orang memvalidasi dirinya, dikarenakan penantian yang tak kunjung datang apresiasi dari orang lain yang akhirnya menyebabkan manusia tersebut memvalidasi dirinya sendiri.
Dari fenomena tersebut, Afthonul Afif menyimpulkan bahwa saat ini pendekatan deduktif bukanlah metode yang tepat. Menurutnya pun, bahasa agama dan budaya seolah-olah gagap menghadapi beragam isu termasuk isu kesehatan mental (mental health).

Tafsir Budaya atas Islam: Dari Simbol Keraton ke Kesadaran Publik
Irfan Afifi merupakan seorang filsuf kebudayaan dari Yogyakarta. Dalam sesi materinya, Irfan Afifi membahas cara beragama melalui jalur obyektif, bukan normatif.
“Budaya adalah jalur obyektif. Berbudaya maka berarti meningkatkan derajat manusia. Dari nature ke culture, mengolah jiwa, mengolah karsa, mengolah disiplin syariah,” ungkap Irfan Afifi.
Dari Mataram ke Surakarta:Transmisi Kekuasaan dan Transformasi Spirit Islam
Yaser Muhamad Arafat adalah seorang cendekiawan, pengamat Sejarah dan Islam Jawa. Ia memaparkan materi berjudul “Islam Matraman: Cahaya Sunnah di Selatan Jawa Abad XV-XIX”. Ia menelusuri jejak Islamisasi di Jawa melalui pendekatan kultural, bukan politis. “Sunan Kalijaga dan para wali menggunakan wayang dan tembang sebagai media dakwah. Ini bukti Islam Jawa bersifat inklusif,” jelasnya.
Yaser (sapaan akrabnya) juga mengungkap peran Kesultanan Mataram dan Kasunanan Surakarta dalam melestarikan tradisi Islam Nusantara. “Pergeseran kekuasaan dari Mataram ke Surakarta justru memperkaya khazanah keislaman, seperti munculnya literatur suluk dan primbon,” tambah Yaser. Temuan ini menjadi masukan berharga bagi Kemenag dalam merancang materi dakwah berbasis kearifan lokal.

Ketiga materi yang dipaparkan oleh masing-masing narasumber tersebut sangat mempengaruhi Penyusunan Rencana Tindak Lanjut yang akan dirumuskan oleh seluruh peserta yang hadir pada penghujung hari Jumat nanti. FGD ini diharapkan menghasilkan rekomendasi konkret, seperti penyusunan modul dakwah berbasis budaya Jawa untuk kader Kemenag, kolaborasi dengan akademisi dan budayawan dalam riset pelestarian dan pengembangan Seni Budaya Islam Nusantara serta peningkatan peran Kankemenag Kota Surakarta yang mewakili Kankemenag di daerah sebagai pusat kajian seni-religius.

Pada sesi penutupan kegiatan, Kakankemenag Kota Surakarta,Ahmad Ulin Nur Hafsun mengakhiri dengan sambutan dan ucapan terima kasih. “Kita bersyukur dapat menggali lebih dalam spirit islam yang berkembang, kita belajar bahwa islam di jawa tumbuh beriringan dengan budaya setempat,”tuturnya.Islam hadir di masyarakat bukan suatu yang asing karena justru memberi warna pada peradaban dan menyatu dalam nilai kehidupan masyarakat. “Spirit islam menjadi warisan berhaga, ada keharmonian, toleransi,kearifan yang melahirkan peradaban unggul untuk menjaga ketahanan bangsa,”jelasnya. Kemenag Kota Surakarta mengapresiasi pelaksanaan kegiatan, dan berharap kegiatan yang sama terus dapat dilanjutkan. (rmd/may)